My Blog List

Thursday 11 February 2010

Ketahanan pangan terwujud apabila telah terpenuhi aspek ketersediaan dan kemudahan untuk mengaksesnya, bagaimana kaitannya dengan kemandirian pangan

Pendahuluan

Pangan merupakan kebutuhan dasar bagi kelangsungan hidup manusia dan sekaligus merupakan kebutuhan paling mendasar bagi keutuhan suatu bangsa. Kemandirian pangan dapat diartikan sebagai kemampuan dalam menjamin seluruh penduduk untuk memperoleh pangan yang cukup dengan mutu yang layak dan aman. Untuk mewujudkannya diperlukan dukungan kebijakan untuk memperoleh pembangunan usaha tani tanaman pangan. Ketahanan pangan bagi suatu bangsa merupakan pilar utama dari integrasi dan independensi bangsa tersebut dari cengkraman penjajah. Dengan adanya ketergantungan pangan, suatu bangsa akan sulit lepas dari cengkraman penjajah. Dengan demikian upaya untuk mencapai kemandirian dalam memenuhi kebutuhan pangan nasional bukan hanya dipandang dari sisi untung rugi ekonomi saja tetapi harus disadari sebagai bagian yang mendasar bagi ketahanan nasional yang harus dilindungi.

Berbagai upaya pemerintah untuk membangun kemadirian dan ketahanan pangan nasional telah dilakukan semenjak masa Orde Baru. Pada tahun 1984 Indonesia pernah mengukir prestasi gemilang dengan mampu mencapai swasembada pangan nasional, namun tahun-tahun selanjutnya prestasi tersebut semakin merosot sehingga upaya-upaya mempertahankan dan mencukupi kebutuhan pangan nasional semakin sulit dilakukan. Proyek pembukaan lahan pertanian sejuta hektar lahan gambut di Kalimantan Tengah, implementasi Bimas, Insus dan Supra Insus, tampaknya tidak memberikan manfaat berarti, bahkan dalam dasawarsa terakhir kita terjebak dalam kesenjangan antara kebutuhan pangan dan produksi pangan nasional sehingga kebijakan impor beras dijadikan sebagai solusi instan oleh pemerintah.

Beberapa Solusi Membangun Ketahanan Pangan

Membangun kemandirian dan ketahanan pangan nasional harus dilandasi dengan sistem dan kebijakan pangan yang menekankan pada upaya swasembada pangan yang kokoh dan sustain, serta pengelolaan program yang terencana, bertahap dan profesional dengan keberpihakan kepada rakyat. Ritung dan Hidayat (2007) menyatakan bahwa untuk merealisasikan swasembada pangan nasional diperlukan upaya peningkatan produksi melalui tiga cara yaitu :

(1) peningkatan produktivitas dengan menerapkan teknologi usaha tani terobosan,

(2) peningkatan luas areal panen melalui peningkatan intensitas tanam dan pembukaan areal baru,

(3) peningkatan penanganan panen dan pasca panen untuk menekan kehilangan hasil dan meningkatkan nilai tambah.

Penerapan teknologi terobosan dalam upaya meningkatkan produktifitas pertanian dilakukan dengan cara mengembalikan daya dukung lahan dan mengeliminasi penggunaan sarana pertanian kimia sintetis (pupuk kimia dan pestisida kimia). Subsidi teknologi yang menjadi bagian penting dari upaya menciptakan ketahanan pangan yang tangguh, harus mengutamakan teknologi produktivitas yang ramah lingkungan. Teknologi tersebut harus telah terbukti memberikan kontribusi yang nyata bagi peningkatan produktivitas dan teruji bukan hanya untuk meningkatkan produktivitas tanaman pangan tetapi juga mampu menjaga kelestarian produksi dan ramah lingkungan. Disamping itu teknologi yang diterapkan harus bersifat sederhana, mudah dimengerti dan dilaksanakan petani sehingga dapat diterapkan di lapangan secara utuh dan memiliki kawalan/ pendampingan di lapangan untuk menjamin keberhasilannya.

Sulitnya melakukan peningkatan produksi pangan nasional antara lain karena pengembangan lahan pertanian pangan baru tidak seimbang dengan konversi lahan pertanian produktif yang berubah menjadi fungsi lain seperti permukiman. Lahan irigasi Indonesia sebesar 10.794.221 hektar telah menyumbangkan produksi padi sebesar 48.201.136 ton dan 50 %-nya lebih disumbang dari pulau Jawa (BPS, 2000). Akan tetapi mengingat padatnya penduduk di pulau Jawa keberadaan lahan tanaman pangan tersebut terus mengalami degradasi seiring meningkatnya kebutuhan pemukiman dan pilihan pada komoditi yang memiliki nilai ekonomi yang lebih tinggi seperti hortikultura. Jika tidak ada upaya khusus untuk meningkatkan produktivitas secara nyata dan membuka areal baru pertanian pangan sudah pasti produksi pangan dalam negeri tidak akan mampu mencukupi kebutuhan pangan nasional.

Potensi untuk perluasan lahan pertanian di Indonesia ini sebenarnya masih sangat luas. Berdasarkan kondisi biofisik lahan (fisiografi, bentuk wilayah, lereng, iklim), dari 188,2 juta hektar total daratan Indonesia, lahan yang sesuai untuk pertanian adalah seluas 100,7 juta hektar, yaitu 24,5 juta hektar sesuai untuk lahan basah (sawah), 25,3 juta hektar sesuai untuk lahan kering tanaman semusim, dan 50,9 juta hektar sesuai untuk lahan kering tanaman tahunan. Dari 24,5 juta hektar lahan yang sesuai untuk lahan basah, 8,5 juta hektar di antaranya sudah digunakan untuk lahan sawah. Namun karena adanya konversi (alih guna) lahan sawah, maka luas lahan sawah baku saat ini sekitar 7,8 juta hektar. Sekitar 16 juta hektar lahan sesuai untuk perluasan lahan sawah yang terdiri dari 3,5 juta hektar lahan rawa dan 12,5 juta hektar lahan non rawa. Lahan non rawa yang berpotensi dijadikan sawah tersebar di pulau Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua. Di pulau Jawa lahan yang sesuai tersebut kebanyakan sudah digunakan untuk keperluan lain sehingga hampir tidak mungkin melakukan ekstensifikasi sawah di pulau Jawa. Luas lahan pasang surut dan lebak di Indonesia diperkirakan mencapai 20,19 juta hektar dan sekitar 9,5 juta hektar berpotensi untuk pertanian serta 4,2 juta hektar telah di reklamasi untuk pertanian (Ananto, 2002). Kendala utama pengembang di lahan ini adalah keragaman sifat fisiko-kimia seperti pH yang rendah, kesuburan rendah, keracunan tanah dan kendala bio-fisik seperti pertumbuhan gulma yang pesat, OPT dan cekaman air (Moeljopawiro, 2002).

Dalam jangka pendek, strategi perluasan areal pertanian dapat diprioritaskan untuk memanfaatkan lahan-lahan tidur (alang-alang) yang luasnya sekitar 8,5 juta. Sebagian (1,08 juta ha) lahan tersebut telah didelineasi kesesuaiannya pada skala 1:50.000, yang terebar di 13 propinsi. Lahan tersebut sangat berpeluang dikembangkan baik untuk tanaman semusim maupun tahunan, terutama di daerah transmigrasi di mana infrastruktur cukup baik dan tenaga kerja tersedia. Di samping itu, terdapat lahan rawa (pasang surut) yang sudah pernah direklamasi seluas 4,19 juta ha, tetapi belum dimanfaatkan secara optimal dan bahkan diterlantarkan. Lahan yang telah dikembangkan hanya seluas 835.200 ha, sehingga masih terbuka peluang untuk pengembangan dan perluasan areal lahan sawah, tentunya dengan perencanaan, pemanfaatan, dan pengelolaan lahan sesuai dengan kaidah-kaidah yang berlaku. Selain itu, lahan sawah irigasi yang ada sekarang ini, perlu dipertahankan keberadaannya karena sawah tersebut telah menghabiskan investasi yang besar dalam pencetakan dan pembangunan jaringan irigasinya, misalnya dengan menetapkan lahan sawah abadi (RPPK, 2005)

Krisnamurthi (2003) mengusulkan kepada pemerintah agar dapat memfokuskan diri pada pada pelaksanaan agenda pengembangan ketahanan pangan sebagai berikut :

a. Mencegah dan mengurangi laju konversi lahan produktif.

b. Memanfaatkan dengan lebih optimal berbagai bentuk sumberdaya lahan (lahan kering, lahan rawa, lahan pasang surut) untuk kepentingan pemantapan produksi pangan dan peningkatan pendapatan petani.

c. Mendukung usaha peningkatan produktivitas usaha pertanian, terutama melalui peningkatan penggunaan bibit unggul dan mengurangi kehilangan hasil pasca panen.

d. Melakukan rehabilitasi, pemeliharaan dan optimasi pemanfaatan infrastruktur irigasi dan jalan desa.

e. Melakukan berbagai langkah kongkrit dalam konservasi sumberdaya tanah dan air, terutama dalam wilayah aliran sungai.

f. Mempromosikan produksi dan konsumsi anekaragam pangan berbasis sumberdaya lokal, baik yang berbasis tanah maupun berbasis air (laut, danau, sungai), dengan menyertakan masyarakat dan dunia usaha.

g. Mengembangkan sistem informasi pangan yang dapat diakses secara terbuka, termasuk pengembangan peta potensi pangan daerah.

h. Mengembangkan berbagai kelembagaan pendukung produksi dan distribusi pangan, terutama kelembagaan pembiayaan, penelitian, penyuluhan, dan pendidikan.

i. Mengembangkan berbagai sistem insentif yang diperlukan bagi peningkatan produksi pangan dan peningkatan pola konsumsi pangan beranekaragam.

Kesimpulan

Pangan merupakan kebutuhan dasar bagi kelangsungan hidup manusia dan sekaligus merupakan kebutuhan paling mendasar bagi keutuhan suatu bangsa. Kemandirian pangan dapat diartikan sebagai kemampuan dalam menjamin seluruh penduduk untuk memperoleh pangan yang cukup dengan mutu yang layak dan aman. Untuk mewujudkannya diperlukan dukungan kebijakan untuk memperoleh pembangunan usaha tani tanaman pangan. Upaya untuk mencapai kemandirian dalam memenuhi kebutuhan pangan nasional harus disadari sebagai bagian yang mendasar bagi ketahanan nasional yang harus dilindungi.

Upaya teknis yang dilakukan oleh pemerintah untuk mewujudkan kemandirian dan ketahanan pangan nasional yang kokoh adalah: (1) meningkatkan produktivitas dengan menerapkan teknologi usaha tani terobosan, (2) meningkatkan luas areal panen melalui peningkatan intensitas tanam dan pembukaan areal baru, (3) meningkatkan penanganan panen dan pasca panen untuk menekan kehilangan hasil dan meningkatkan nilai tambah.


Daftar Pustaka

Ananto, E. 2002. Pengembangan Pertanian Lahan Rawa Pasang Surut Mendukung Peningkatan Produksi Pangan. Makalah disampaikan Pada Seminar IPTEK padi Pekan Padi Nasional di Sukamandi 22 Maret 2002.

BPS. 2001. 2005. Stasistik Indonesia 2000, 2004. BPS Jakarta.

Hutapea, J. dan Mashar, A.Z. 2005. Ketahanan Pangan dan Teknologi Produktivitas menuju Kamandirian Pertanian Indonesia.

Krisnamurthi, B. 2003. Agenda Pemberdayaan Petani dalam rangka Pemantapan Ketahanan Pangan Nasional. Jurnal Ekonomi Kerakyatan. Th. II - No. 7, Oktober 2003.

Moeljopawiro, S. 2002. Bioteknologi Untuk Peningkatan Produktivitas dan Kualitas Padi. Makalah disampaikan Pada Seminar IPTEK padi Pekan Padi Nasional di Sukamandi 22 Maret 2002.

Ritung, S., dan A. Hidayat . 2007. Potensi dan Ketersediaan Lahan untuk Pengembangan Pertanian melalui Pendekatan Citra Satelit. Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian.

RPPK. 2005. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis: Tinjauan Aspek Kesesuaian Lahan; Rangkuman Kebutuhan Investasi.

Persaingan Antara Tanaman Dan Gulma Serta Pengaruhnya Terhadap Produktivitas Tanaman

I. Pengertian Gulma
Gulma adalah tumbuhan yang kehadirannya tidak diinginkan pada lahan pertanian karena menurunkan hasil yang bisa dicapai oleh tanaman produksi.
Batasan gulma bersifat teknis dan plastis. Teknis, karena berkait dengan proses produksi suatu tanaman pertanian. Keberadaan gulma menurunkan hasil karena mengganggu pertumbuhan tanaman produksi melalui kompetisi. Plastis, karena batasan ini tidak mengikat suatu spesies tumbuhan. Pada tingkat tertentu, tanaman berguna dapat menjadi gulma. Sebaliknya, tumbuhan yang biasanya dianggap gulma dapat pula dianggap tidak mengganggu. Contoh, kedelai yang tumbuh di sela-sela pertanaman monokultur jagung dapat dianggap sebagai gulma, namun pada sistem tumpang sari keduanya merupakan tanaman utama. Meskipun demikian, beberapa jenis tumbuhan dikenal sebagai gulma utama, seperti teki dan alang-alang.
Ilmu yang mempelajari gulma, perilakunya, dan pengendaliannya dikenal sebagai ilmu gulma.

II. Macam-macam gulma
Biasanya orang membedakan gulma ke dalam tiga kelompok. Ketiga kelompok gulma memiliki karakteristik tersendiri yang memerlukan strategi khusus untuk mengendalikannya.
 Gulma teki-tekian
Kelompok ini memiliki daya tahan luar biasa terhadap pengendalian mekanik karena memiliki umbi batang di dalam tanah yang mampu bertahan berbulan-bulan. Selain itu, gulma ini menjalankan jalur fotosintesis C4 yang menjadikannya sangat efisien dalam 'menguasai' areal pertanian secara cepat. Ciri-cirinya adalah penampang lintang batang berbentuk segi tiga membulat, dan tidak berongga, memiliki daun yang berurutan sepanjang batang dalam tiga baris, tidak memiliki lidah daun, dan titik tumbuh tersembunyi. Kelompok ini mencakup semua anggota Cyperaceae (suku teki-tekian) yang menjadi gulma. Contoh: teki ladang (Cyperus rotundus), udelan (Cyperus kyllinga), dan Scirpus moritimus.
 Gulma rumput-rumputan
Gulma dalam kelompok ini berdaun sempit seperti teki-tekian tetapi memiliki stolon, alih-alih umbi. Stolon ini di dalam tanah membentuk jaringan rumit yang sulit diatasi secara mekanik. Contoh gulma kelompok ini adalah alang-alang (Imperata cylindrica).
 Gulma daun lebar
Berbagai macam gulma dari anggota Dicotyledoneae termasuk dalam kelompok ini. Gulma ini biasanya tumbuh pada akhir masa budidaya. Kompetisi terhadap tanaman utama berupa kompetisi cahaya. Daun dibentuk pada meristem pucuk dan sangat sensitif terhadap kemikalia. Terdapat stomata pada daun terutama pada permukaan bawah, lebih banyak dijumpai. Terdapat tunas-tunas pada nodusa, serta titik tumbuh terletak di cabang. Contoh gulma ini ceplukan (Physalis angulata L.), wedusan (Ageratum conyzoides L.), sembung rambut (Mikania michranta), dan putri malu (Mimosa pudica).

III. Pengendalian Gulma
Pengendalian gulma merupakan subjek yang sangat dinamis dan perlu strategi yang khas untuk setiap kasus. Beberapa hal perlu dipertimbangkan sebelum pengendalian gulma dilakukan:
 Jenis gulma dominan
 Tumbuhan budidaya utama
 Alternatif pengendalian yang tersedia
 Dampak ekonomi dan ekologi
Kalangan pertanian sepakat dalam mengadopsi strategi pengendalian gulma terpadu untuk mengontrol pertumbuhan gulma.
Faktor - Faktor Kompetisi Pada Gulma
1) JenisGulma, Setiap jenis gulma memiliki daya kompetisi Dan potensi gangguan yang berbeda.
2) Kepadatan Gulma, Populasi gulma MH MK tersedia cukup air, perlu diketahui suksesi gulma antarmusim.
3) Distribusi, Gulma mampu menyebar dengan biji (dormansi sangat baik) atau organ vegetative yang responsif terhadap kondisi lingkungan dan berdaya tumbuh tinggi.

KOMPETISI
A. Kompetisi Gulma terhadap Tanaman
Adanya persaingan gulma dapat mengurangi kemampuan tanaman untuk berproduksi. Persaingan atau kompetisi antara gulma dan tanaman yang kita usahakan di dalam menyerap unsur-unsur hara dan air dari dalam tanah, dan penerimaan cahaya matahari untuk proses fotosintesis, menimbulkan kerugian-kerugian dalam produksi baik kualitas dan kuantitas.
a. Persaingan memperebutkan hara
Setiap lahan berkapasitas tertentu didalam mendukung pertumbuhan berbagai pertanaman atau tumbuhan yang tumbuh di permukaannya. Jumlah bahan organik yang dapat dihasilkan oleh lahan itu tetap walaupun kompetisi tumbuhannya berbeda; oleh karena itu jika gulma tidak diberantas, maka sebagian hasil bahan organik dari lahan itu berupa gulma. Hal ini berarti walaupun pemupukan dapat menaikkan daya dukung lahan, tetapi tidak dapat mengurangi komposisi hasil tumbuhan atau dengan kata lain gangguan gulma tetap ada dan merugikan walaupun tanah dipupuk.
Yang paling diperebutkan antara pertanaman dan gulma adalah unsur nitrogen, dan karena nitrogen dibutuhkan dalam jumlah yang banyak, maka ini lebih cepat habis terpakai. Gulma menyerap lebih banyak unsur hara daripada pertanaman. Pada bobot kering yang sama, gulma mengandung kadar nitrogen dua kali lebih banyak daripada jagung; fosfat 1,5 kali lebih banyak; kalium 3,5 kali lebih banyak; kalsium 7,5 kali lebih banyak dan magnesium lebih dari 3 kali. Dapat dikatakan bahwa gulma lebih banyak membutuhkan unsur hara daripada tanaman yang dikelola manusia.
b. Persaingan memperebutkan air
Sebagaimana dengan tumbuhan lainnya, gulma juga membutuhkan banyak air untuk hidupnya. Jika ketersediaan air dalam suatu lahan menjadi terbatas, maka persaingan air menjadi parah. Air diserap dari dalam tanah kemudiaan sebagian besar diuapkan (transpirasi) dan hanya sekitar satu persen saja yang dipakai untuk proses fotosintesis. Untuk tiap kilogram bahan organik, gulma membutuhkan 330 – 1900 liter air. Kebutuhan yang besar tersebut hampir dua kali lipat kebutuhan pertanaman. Contoh gulma Helianthus annus membutuhkan air sebesar 2,5 kali tanaman jagung. Persaingan memperebutkan air terjadi serius pada pertanian lahan kering atau tegalan.
c. Persaingan memperebutkan cahaya
Apabila ketersediaan air dan hara telah cukup dan pertumbuhan berbagai tumbuhan subur , maka faktor pembatas berikutnyaa adalah cahaya matahari yang redup (di musim penghujan) berbagai pertanaman berebut untuk memperoleh cahaya matahari. Tumbuhan yang berhasil bersaing mendapatkan cahaya adalah yang tumbuh lebih dahulu, oleh karena itu tumbuhan itu lebih tua, lebih tinggi dan lebih rimbun tajuknya. Tumbuhan lain yang lebih pendek, muda dan kurang tajuknya, dinaungi oleh tumbuhannya yang terdahulu serta pertumbuhannya akan terhambat.
Tumbuhan yang berjalur fotosintesis C4 lebih efisien menggunakan air, suhu dan sinar sehingga lebih kuat bersaing berebut cahaya pada keadaan cuaca mendung. Oleh karena itu penting untuk memberantas gulma dari familia Cyperaceae dan Gramineae (Poaceae) di sekitar rumpun-rumpun padi yang berjalur C3.
Dari peristiwa persaingan antara gulma dan tanaman pokok didalam memperebutkan unsur hara, air dan cahaya matahari, Eussen (1972) menelorkan rumus :
TCV = CVN + CVW + CVL
di mana TCV = total competition value, CVN = competition value for nutrient, CVW = competition value for water dan CVL = competition value for light. Nilai persaingan total yang disebabkan oleh gulma terhadap tanaman pokok merupakan penggabungan dari nilai persaingan untuk hara + nilai persaingan untuk air + nilai persaingan untuk cahaya.
Besar kecilnya (derajad) persaingan gulma terhadap tanaman pokok akan berpengaruh terhadap baik buruknya pertumbuhan tanaman pokok dan pada gilirannya akan berpengaruh terhadap tinggi rendahnya hasil tanaman pokok. Besar kecilnya persaingan antara gulma dan tanaman pokok di dalam memperebutkan air, hara dan cahaya atau tinggi rendahnya hambatan terhadap pertumbuhan atau hasil tanaman pokok jika dilihat dari segi gulmanya, dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti berikut ini.
Kerapatan gulma
Semakin rapat gulmanya, persaingan yang terjadi antara gulma dan tanaman pokok semakin hebat, pertumbuhan tanaman pokok semakin terhambat, dan hasilnya semakin menurun. Hubungan antara kerapatan gulma dan pertumbuhan atau hasil tanaman pokok merupakan suatu korelasi negatif. Suroto dkk. (1996) memperlihatkan bahwa perlakuan kerapatan awal teki 25, 50 dan 100 per m2 menurunkan bobot biji kacang tanah per tanaman masing-masing sebesar 14,69 %; 14,88 % dan 17,57 %.
Macam gulma
Masing-masing gulma mempunyai kemampuan bersaing yang berbeda, hambatan terhadap pertumbuhan tanaman pokok berbeda, penurunan hasil tanaman pokok juga berbeda. Sebagai contoh kemampuan bersaing jawan (Echinochloa crusgalli) dan tuton (Echinochloa colonum) terhadap tanaman padi tidak sama atau berbeda.
c. Saat kemunculan gulma
Semakin awal saat kemunculan gulma, persaingan yang terjadi semakin hebat, pertumbuhan tanaman pokok semakin terhambat, dan hasilnya semakin menurun. Hubungan antara saat kemunculan gulma dan pertumbuhan atau hasil tanaman pokok merupakan suatu korelasi positif. Hasil penelitian Erida dan Hasanuddin (1996) memperlihatkan bahwa saat kemunculan gulma bersamaan tanam, 15, 30, 45, 60 dan 75 hari setelah tanam masing-masing memberikan bobot biji kedelai sebesar 166,22; 195,82; 196,11; 262,28; 284,77 dan 284,82 g/petak (2m x 3m).
d. Lama keberadaan gulma
Semakin lama gulma tumbuh bersama dengan tanaman pokok, semakin hebat persaingannya, pertumbuhan tanaman pokok semakin terhambat, dan hasilnya semakin menurun. Hubungan antara lama keberadaan gulma dan pertumbuhan atau hasil tanaman pokok merupakan suatu korelasi negatif. Perlakuan lama keberadaan gulma 0, 15, 30, 45, 60, 75, dan 90 hari setelah tanam masing-masing memberikan bobot biji kedelai sebesar 353,37; 314,34; 271,45; 257,34; 256,64; 250,56 dan 166,22 g/petak (Erida dan Hasanuddin, 1996).
e. Kecepatan tumbuh gulma
Semakin cepat gulma tumbuh, semakin hebat persaingannya, pertumbuhan tanaman pokok semakin terhambat, dan hasilnya semakin menurun.
f. Habitus gulma
Gulma yang lebih tinggi dan lebih lebat daunnya, serta lebih luas dan dalam sistem perakarannya memiliki kemampuan bersaing yang lebih, sehingga akan lebih menghambat pertumbuhan dan menurunkan hasil tanaman pokok
g. Jalur fotosintesis gulma (C3 atau C4)
Gulma yang memiliki jalur fotosintesis C4 lebih efisien, sehingga persaingannya lebih hebat, pertumbuhan tanaman pokok lebih terhambat, dan hasilnya semakin menurun.
h. Allelopati
Beberapa species gulma menyaingi tanaman dengan mengeluarkan senyawa dan zat-zat beracun dari akarnya (root exudates atau lechates) atau dari pembusukan bagian vegetatifnya. Bagi gulma yang mengeluarkan allelopat mempunyai kemampuan bersaing yang lebih hebat sehingga pertumbuhan tanaman pokok lebih terhambat, dan hasilnya semakin menurun.
Di samping itu kemiripan gulma dengan tanaman juga mempunyai arti penting. Masing-masing pertanaman memiliki asosiasi gulma tertentu dan gulma yang lebih berbahaya adalah yang mirip dengan pertanamannnya. Sebagai contoh Echinochloa crusgalli lebih mampu bersaing terhadap padi jika dibandingkan dengan gulma lainnya.

IV. Pengaruh Gulma Terhadap Produktivitas Tanaman
Gulma merupakan salah satu faktor pembatas produksi tanaman. Gulma menyerap hara dan air lebih cepat dibanding tanaman pokok (Gupta 1984). Pada tanaman padi, biaya pengendalian gulma mencapai 50% dari biaya total produksi (IRRI 1992). Komunitas gulma dipengaruhi oleh faktor-faktor yang
Berkaitan dengan kultur teknis. Spesies gulma yang tumbuh bergantung pada pengairan, pemupukan, pengolahan tanah, dan cara pengendalian gulma (Noor dan Pane 2002). Gulma berinteraksi dengan tanaman melalui persaingan untuk mendapatkan satu atau lebih faktor tumbuh yang terbatas, seperti cahaya, hara, dan air. Tingkat persaingan bergantung pada curah hujan, varietas, kondisi tanah, kerapatan gulma, lamanya tanaman, pertumbuhan gulma, serta umur tanaman saat gulma mulai bersaing (Jatmiko et al. 2002). Di tingkat petani, kehilangan hasil padi karena persaingan dengan gulma mencapai 10-15%. Karena terbatasnya tenaga kerja untuk menyiang, dalam mengendalikan gulma petani mulai beralih dari penyiangan secara manual kepemakaian herbisida (Pane et al. 1999). Selain itu, penggunaan herbisida lebih ekonomis dan efektif mengendalikan gulma dibanding cara lain, terutama pada hamparan yang luas. (Caseley 1994; Moody 1994; Heong dan Escalada 1995). Pengendalian gulma dimaksudkan untuk menekan atau mengurangi populasi gulma sehingga penurunan hasil secara ekonomis menjadi tidak berarti (Mulyono et al. 2003). Clomazon, kalium MCPA, dan 2,4 D dimetil amina merupakan herbisida dengan persistensi rendah. Menurut Jatmiko et al. (2002), persistensi adalah lamanya aktivitas biologi herbisida dalam tanah yang merupakan akibat dari penyerapan, volatilisasi, pencucian, dan degradasi biologi ataupun nonbiologi. Pada umumnya persistensi herbisida di dalam tanah lebih pendek daripada insektisida dan bervariasi dari beberapa minggu hingga beberapa tahun, bergantung pada struktur dan sifat tanah serta kandungan air di dalam tanah. Herbisida persistensi rendah menandakan lamanya
aktivitas biologi herbisida dalam tanah termasuk rendah. Dengan demikian, herbisida yang terserap tanaman padi juga rendah sehingga hasil padi aman dikonsumsi. Tujuan percobaan ini adalah untuk mengetahui efektivitas pemakaian herbisida terhadap pertumbuhan gulma dan hasil padi. Herbisida yang diaplikasikan merupakan kelompok herbisida persistensi rendah yang lama aktivitas biologinya dalam tanah pendek.


DAFTAR PUSTAKA

http://id.wikipedia.org/wiki/Gulma
http://eone87.wordpress.com/2008/11/13/gulma-tanaman/