My Blog List

Thursday 11 February 2010

Ketahanan pangan terwujud apabila telah terpenuhi aspek ketersediaan dan kemudahan untuk mengaksesnya, bagaimana kaitannya dengan kemandirian pangan

Pendahuluan

Pangan merupakan kebutuhan dasar bagi kelangsungan hidup manusia dan sekaligus merupakan kebutuhan paling mendasar bagi keutuhan suatu bangsa. Kemandirian pangan dapat diartikan sebagai kemampuan dalam menjamin seluruh penduduk untuk memperoleh pangan yang cukup dengan mutu yang layak dan aman. Untuk mewujudkannya diperlukan dukungan kebijakan untuk memperoleh pembangunan usaha tani tanaman pangan. Ketahanan pangan bagi suatu bangsa merupakan pilar utama dari integrasi dan independensi bangsa tersebut dari cengkraman penjajah. Dengan adanya ketergantungan pangan, suatu bangsa akan sulit lepas dari cengkraman penjajah. Dengan demikian upaya untuk mencapai kemandirian dalam memenuhi kebutuhan pangan nasional bukan hanya dipandang dari sisi untung rugi ekonomi saja tetapi harus disadari sebagai bagian yang mendasar bagi ketahanan nasional yang harus dilindungi.

Berbagai upaya pemerintah untuk membangun kemadirian dan ketahanan pangan nasional telah dilakukan semenjak masa Orde Baru. Pada tahun 1984 Indonesia pernah mengukir prestasi gemilang dengan mampu mencapai swasembada pangan nasional, namun tahun-tahun selanjutnya prestasi tersebut semakin merosot sehingga upaya-upaya mempertahankan dan mencukupi kebutuhan pangan nasional semakin sulit dilakukan. Proyek pembukaan lahan pertanian sejuta hektar lahan gambut di Kalimantan Tengah, implementasi Bimas, Insus dan Supra Insus, tampaknya tidak memberikan manfaat berarti, bahkan dalam dasawarsa terakhir kita terjebak dalam kesenjangan antara kebutuhan pangan dan produksi pangan nasional sehingga kebijakan impor beras dijadikan sebagai solusi instan oleh pemerintah.

Beberapa Solusi Membangun Ketahanan Pangan

Membangun kemandirian dan ketahanan pangan nasional harus dilandasi dengan sistem dan kebijakan pangan yang menekankan pada upaya swasembada pangan yang kokoh dan sustain, serta pengelolaan program yang terencana, bertahap dan profesional dengan keberpihakan kepada rakyat. Ritung dan Hidayat (2007) menyatakan bahwa untuk merealisasikan swasembada pangan nasional diperlukan upaya peningkatan produksi melalui tiga cara yaitu :

(1) peningkatan produktivitas dengan menerapkan teknologi usaha tani terobosan,

(2) peningkatan luas areal panen melalui peningkatan intensitas tanam dan pembukaan areal baru,

(3) peningkatan penanganan panen dan pasca panen untuk menekan kehilangan hasil dan meningkatkan nilai tambah.

Penerapan teknologi terobosan dalam upaya meningkatkan produktifitas pertanian dilakukan dengan cara mengembalikan daya dukung lahan dan mengeliminasi penggunaan sarana pertanian kimia sintetis (pupuk kimia dan pestisida kimia). Subsidi teknologi yang menjadi bagian penting dari upaya menciptakan ketahanan pangan yang tangguh, harus mengutamakan teknologi produktivitas yang ramah lingkungan. Teknologi tersebut harus telah terbukti memberikan kontribusi yang nyata bagi peningkatan produktivitas dan teruji bukan hanya untuk meningkatkan produktivitas tanaman pangan tetapi juga mampu menjaga kelestarian produksi dan ramah lingkungan. Disamping itu teknologi yang diterapkan harus bersifat sederhana, mudah dimengerti dan dilaksanakan petani sehingga dapat diterapkan di lapangan secara utuh dan memiliki kawalan/ pendampingan di lapangan untuk menjamin keberhasilannya.

Sulitnya melakukan peningkatan produksi pangan nasional antara lain karena pengembangan lahan pertanian pangan baru tidak seimbang dengan konversi lahan pertanian produktif yang berubah menjadi fungsi lain seperti permukiman. Lahan irigasi Indonesia sebesar 10.794.221 hektar telah menyumbangkan produksi padi sebesar 48.201.136 ton dan 50 %-nya lebih disumbang dari pulau Jawa (BPS, 2000). Akan tetapi mengingat padatnya penduduk di pulau Jawa keberadaan lahan tanaman pangan tersebut terus mengalami degradasi seiring meningkatnya kebutuhan pemukiman dan pilihan pada komoditi yang memiliki nilai ekonomi yang lebih tinggi seperti hortikultura. Jika tidak ada upaya khusus untuk meningkatkan produktivitas secara nyata dan membuka areal baru pertanian pangan sudah pasti produksi pangan dalam negeri tidak akan mampu mencukupi kebutuhan pangan nasional.

Potensi untuk perluasan lahan pertanian di Indonesia ini sebenarnya masih sangat luas. Berdasarkan kondisi biofisik lahan (fisiografi, bentuk wilayah, lereng, iklim), dari 188,2 juta hektar total daratan Indonesia, lahan yang sesuai untuk pertanian adalah seluas 100,7 juta hektar, yaitu 24,5 juta hektar sesuai untuk lahan basah (sawah), 25,3 juta hektar sesuai untuk lahan kering tanaman semusim, dan 50,9 juta hektar sesuai untuk lahan kering tanaman tahunan. Dari 24,5 juta hektar lahan yang sesuai untuk lahan basah, 8,5 juta hektar di antaranya sudah digunakan untuk lahan sawah. Namun karena adanya konversi (alih guna) lahan sawah, maka luas lahan sawah baku saat ini sekitar 7,8 juta hektar. Sekitar 16 juta hektar lahan sesuai untuk perluasan lahan sawah yang terdiri dari 3,5 juta hektar lahan rawa dan 12,5 juta hektar lahan non rawa. Lahan non rawa yang berpotensi dijadikan sawah tersebar di pulau Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua. Di pulau Jawa lahan yang sesuai tersebut kebanyakan sudah digunakan untuk keperluan lain sehingga hampir tidak mungkin melakukan ekstensifikasi sawah di pulau Jawa. Luas lahan pasang surut dan lebak di Indonesia diperkirakan mencapai 20,19 juta hektar dan sekitar 9,5 juta hektar berpotensi untuk pertanian serta 4,2 juta hektar telah di reklamasi untuk pertanian (Ananto, 2002). Kendala utama pengembang di lahan ini adalah keragaman sifat fisiko-kimia seperti pH yang rendah, kesuburan rendah, keracunan tanah dan kendala bio-fisik seperti pertumbuhan gulma yang pesat, OPT dan cekaman air (Moeljopawiro, 2002).

Dalam jangka pendek, strategi perluasan areal pertanian dapat diprioritaskan untuk memanfaatkan lahan-lahan tidur (alang-alang) yang luasnya sekitar 8,5 juta. Sebagian (1,08 juta ha) lahan tersebut telah didelineasi kesesuaiannya pada skala 1:50.000, yang terebar di 13 propinsi. Lahan tersebut sangat berpeluang dikembangkan baik untuk tanaman semusim maupun tahunan, terutama di daerah transmigrasi di mana infrastruktur cukup baik dan tenaga kerja tersedia. Di samping itu, terdapat lahan rawa (pasang surut) yang sudah pernah direklamasi seluas 4,19 juta ha, tetapi belum dimanfaatkan secara optimal dan bahkan diterlantarkan. Lahan yang telah dikembangkan hanya seluas 835.200 ha, sehingga masih terbuka peluang untuk pengembangan dan perluasan areal lahan sawah, tentunya dengan perencanaan, pemanfaatan, dan pengelolaan lahan sesuai dengan kaidah-kaidah yang berlaku. Selain itu, lahan sawah irigasi yang ada sekarang ini, perlu dipertahankan keberadaannya karena sawah tersebut telah menghabiskan investasi yang besar dalam pencetakan dan pembangunan jaringan irigasinya, misalnya dengan menetapkan lahan sawah abadi (RPPK, 2005)

Krisnamurthi (2003) mengusulkan kepada pemerintah agar dapat memfokuskan diri pada pada pelaksanaan agenda pengembangan ketahanan pangan sebagai berikut :

a. Mencegah dan mengurangi laju konversi lahan produktif.

b. Memanfaatkan dengan lebih optimal berbagai bentuk sumberdaya lahan (lahan kering, lahan rawa, lahan pasang surut) untuk kepentingan pemantapan produksi pangan dan peningkatan pendapatan petani.

c. Mendukung usaha peningkatan produktivitas usaha pertanian, terutama melalui peningkatan penggunaan bibit unggul dan mengurangi kehilangan hasil pasca panen.

d. Melakukan rehabilitasi, pemeliharaan dan optimasi pemanfaatan infrastruktur irigasi dan jalan desa.

e. Melakukan berbagai langkah kongkrit dalam konservasi sumberdaya tanah dan air, terutama dalam wilayah aliran sungai.

f. Mempromosikan produksi dan konsumsi anekaragam pangan berbasis sumberdaya lokal, baik yang berbasis tanah maupun berbasis air (laut, danau, sungai), dengan menyertakan masyarakat dan dunia usaha.

g. Mengembangkan sistem informasi pangan yang dapat diakses secara terbuka, termasuk pengembangan peta potensi pangan daerah.

h. Mengembangkan berbagai kelembagaan pendukung produksi dan distribusi pangan, terutama kelembagaan pembiayaan, penelitian, penyuluhan, dan pendidikan.

i. Mengembangkan berbagai sistem insentif yang diperlukan bagi peningkatan produksi pangan dan peningkatan pola konsumsi pangan beranekaragam.

Kesimpulan

Pangan merupakan kebutuhan dasar bagi kelangsungan hidup manusia dan sekaligus merupakan kebutuhan paling mendasar bagi keutuhan suatu bangsa. Kemandirian pangan dapat diartikan sebagai kemampuan dalam menjamin seluruh penduduk untuk memperoleh pangan yang cukup dengan mutu yang layak dan aman. Untuk mewujudkannya diperlukan dukungan kebijakan untuk memperoleh pembangunan usaha tani tanaman pangan. Upaya untuk mencapai kemandirian dalam memenuhi kebutuhan pangan nasional harus disadari sebagai bagian yang mendasar bagi ketahanan nasional yang harus dilindungi.

Upaya teknis yang dilakukan oleh pemerintah untuk mewujudkan kemandirian dan ketahanan pangan nasional yang kokoh adalah: (1) meningkatkan produktivitas dengan menerapkan teknologi usaha tani terobosan, (2) meningkatkan luas areal panen melalui peningkatan intensitas tanam dan pembukaan areal baru, (3) meningkatkan penanganan panen dan pasca panen untuk menekan kehilangan hasil dan meningkatkan nilai tambah.


Daftar Pustaka

Ananto, E. 2002. Pengembangan Pertanian Lahan Rawa Pasang Surut Mendukung Peningkatan Produksi Pangan. Makalah disampaikan Pada Seminar IPTEK padi Pekan Padi Nasional di Sukamandi 22 Maret 2002.

BPS. 2001. 2005. Stasistik Indonesia 2000, 2004. BPS Jakarta.

Hutapea, J. dan Mashar, A.Z. 2005. Ketahanan Pangan dan Teknologi Produktivitas menuju Kamandirian Pertanian Indonesia.

Krisnamurthi, B. 2003. Agenda Pemberdayaan Petani dalam rangka Pemantapan Ketahanan Pangan Nasional. Jurnal Ekonomi Kerakyatan. Th. II - No. 7, Oktober 2003.

Moeljopawiro, S. 2002. Bioteknologi Untuk Peningkatan Produktivitas dan Kualitas Padi. Makalah disampaikan Pada Seminar IPTEK padi Pekan Padi Nasional di Sukamandi 22 Maret 2002.

Ritung, S., dan A. Hidayat . 2007. Potensi dan Ketersediaan Lahan untuk Pengembangan Pertanian melalui Pendekatan Citra Satelit. Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian.

RPPK. 2005. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis: Tinjauan Aspek Kesesuaian Lahan; Rangkuman Kebutuhan Investasi.

1 comment:

  1. Makasih Informasinya
    Silahkan kunjungi BLOG kami http://h0404055.wordpress.com
    Terdapat artikel yang menarik dan bermanfaat, apabila berkenan tolong silahkan beri komentar
    Salam Kenal dan Terima Kasih

    ReplyDelete